Salah seorang anak bangsa yang
sangat saya kagumi akan kepemimpinannya adalah Gajah Mada. Sosok yang bagi saya
sangat misterius karena tidak diketahui dan tidak tercatat kapan sang legenda
tersebut dilahirkan, semisterius kematiannya yang tidak pula diketahui kapan
dan dimana lokasi meninggalnya.
Diperkirakan Gajah Mada lahir
pada awal abad 14, di lembah Sungai Brantas diantara Gunung Kawi dan Gunung
Arjuna. Berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan dari kalangan keluarga kaya
ataupun bangsawan. Sejak kecil dia memiliki talenta kepemimpinan yang sangat
kuat melebihi orang-orang sebaya di masanya dan konon dia terus menempa dirinya
agar dapat masuk ke lingkungan pasukan kerajaan. Nama Gajah Mada sendiri
mengandung makna “Gajah yang cerdas, tangkas, dan enerjik.”
Gajah Mada dikenal juga oleh
masyarakat dengan nama Mpu Mada, Jaya Mada, atau Dwirada Mada. Ia diyakini
sebagai Lembu Muksa yang merupakan titisan dari Dewa Wisnu. Dengan keyakinan
masyarakat tersebut, Gajah Mada mendapat legitimasi yang sangat kuat dari
seluruh rakyat Majapahit, sehingga mendapatkan dukungan kepatuhan yang kuat dari
rakyat dan kepercayaan yang besar dari Raja.
Awal kariernya dimulai sebagai
anggota prajurit Bhayangkara. Karena kemampuannya, ia pun diangkat menjadi
Bekel atau Kepala Prajurit Bhayangkara dengan tugas memimpin pasukan pengaman
dan pengawal Raja, kalau saat ini mungkin sebagai Kepala Paspampres.
Pengabdian Gajah Mada kepada Negara
dimulai pada masa pemerintahan Raja Jayanegara (1309 – 1328). Pada masa ini,
banyak sekali prestasi yang ditunjukkan oleh Gajah Mada, sehingga membuat
prestasinya terus menanjak. Salah satunya yang tercatat didalam sejarah adalah
ketika Gajah Mada berhasil menyelamatkan pemerintahan dari kudeta Ra Kuti.
Sehingga atas prestasinya tersebut dia dianugerahi menjadi Patih di kawasan
Kahuripan pada 1319. Gajah Mada menjabat Patih Kahuripan selama 2 (dua) tahun,
yaitu 1319 – 1321. Posisinya sebagai Patih Kahuripan merupakan hal yang
menantang baginya. Dengan posisinya ini, Gajah Mada dapat terus meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, serta pengalamannya di bidang kepemimpinan, manajemen
tata pemerintahan, dan ketataprajaan (ketatanegaraan). Salah satu kemampuannya
yang sangat dikagumi oleh rakyat Majapahit, terutama kalangan Istana adalah dalam
problem solving & decision making.
Kemampuannya didalam menganalisa suatu permasalahan sangat tajam serta tegas
didalam mengambil suatu keputusan.
Pada tahun 1321, dia dipromosikan
menjadi Patih di Daha, yaitu suatu daerah yang
Lebih prestisius dengan wilayah yang lebih luas
dibanding Kahuripan, menggantikan Arya Tilam. Selama menjalankan tugasnya di
Daha, Gajah Mada mendapatkan dukungan (endorsement),
pendidikan (training), pelatihan (coaching), dan pembimbingan (counseling) dari seniornya yang
merupakan Maha Patih Majapahit saat itu, yaitu Arya Tadah. Melihat kemampuan
Gajah Mada yang luar biasa tampaknya membuat Arya Tadah sengaja mengkader Gajah
Mada untuk menggantikan posisinya kelak.
Bersama Adityawarman pada tahun
1331, Gajah Mada berhasil menumpas kasusu separatism Sadeng. Hal tersebut
semakin mempermulus jalannya untuk menggantikan posisi Arya Tadah sebagai Maha
Patih Majapahit. Hingga ketika Arya Tadah merasa sudah tua dan ingin pensiun
sebagai Maha Patih, Arya Tadah mengusulkan kepada Ratu Tribhuawanatunggadewi
Jayawisnuwardhani untuk mengangkat Gajah Mada sebagai Maha Patih menggantikan
posisinya. Sang Ratu pun menyetujui usulan Arya Tadah tersebut untuk mengangkat
Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit.
Laiknya pelantikan Kepala
Pemerintahan jaman sekarang, saat dikukuhkan menjadi Maha Patih, Gajah Mada
membuat suatu statement atau janji politik yang sangat luar biasa. Janji yang
sangat melegenda hingga saat ini dan akan selalu dikenang oleh berbagai
generasi, yaitu suatu janji yang dikenal dengan nama SUMPAH PALAPA.
Sumpah Palapa tersebut termuat
dalam kitab Pararaton yang berbunyi :
Sira Gajah Mada Pepatih amangkubumi
tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada : “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman ingsun amukti
palapa.”
Artinya :
Beliau Gajah Mada menjabat Patih
Mangkubumi tidak ingin menikmati palapa, beliau Gajah Mada berkata : “Kalau
sudah kalah seluruh Nusantara, saya akan menikmati palapa : Kalau sudah kalah
Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang (Semenanjung), Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik (Singapura), pada waktu itulah saya menikmati palapa.
Suatu janji politik yang luar
biasa dan akhirnya dapat dia wujudkan untuk menyatukan Nusantara, yaitu suatu kawasan
yang lebih besar dari kawasan Negara Indonesia saat ini yang meliputi Seluruh
semenanjung Malayu (Malaysia dan Singapura), Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Sunda kecil, Bali, Maluku, Papua, hingga wilayah Darwin (Australia).
Banyak hal yang dapat dipelajari
dan menginspirasi para pemimpin saat ini dari kisah perjalanan Gajah Mada
didalam upayanya menjadi seorang Maha Patih, mulai dari idealismenya,
kemauannya untuk menempa diri dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan pengalamannya (kompetensinya), kemampuannya didalam menganalisa suatu
permasalahan dan memecahkan masalah, ketegasannya didalam mengambil suatu
keputusan, kewibawaannya (dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu), serta yang
paling utama adalah komitmennya didalam memegang janji politiknya yang merupakan Visinya, yaitu menyatunya Nusantara.